Jika Prancis memiliki Pere Lachaise dan Singapura mempunyai Fort Canning Park, di jantung Jakarta terdapat pula taman pemakaman bersejarah bernama Museum Taman Prasasti. Bahkan taksiran usianya jauh lebih tua ketimbang pusat pekuburan modern lain di dunia. Area seluas 1,3 hektare itu memang sudah berdiri sejak 1795 di atas tanah hibah milik Gubernur Jenderal Jeremias van Riemsdijk.
Ketika itu, Batavia tengah mengalami pertumbuhan penduduk setelah bertransformasi menjadi kota perdagangan internasional. Kebutuhan lahan meningkat, sehingga perlu membuat pusat pemakaman di pinggiran kota. "Selain motif kependudukan, masalah kesehatan juga jadi faktor pendorong,” kata pemandu wisata Museum Taman Prasasti, Eko Wahyudi, kepada Plasadana.com untuk Yahoo Indonesia, Kamis, 18 September 2014.
Pusat pekuburan yang dulunya bernama Kerkhof Laan itu terletak Jalan Tanah Abang No 1, Jakarta Pusat. Hanya berjarak sekitar seratus meter dari Kali Krukut, yang menjadi jalur pengiriman jenazah oleh penduduk Kota Batavia di masa itu. "Kalau yang meninggal bangsawan besar, mayat cuma diantar sampai Harmoni," kata dia. "Setelah itu dijemput dengan iring-iringan kereta jenazah."
Lokasi pemakaman ini mulai berubah fungsi menjadi museum sekitar 1977, atas prakarsa Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin. Persiapannya sendiri berlangsung selama dua tahun sebelumnya. Mulai dari pemberitahuan pada pihak keluarga, pemindahan makam ke Menteng Pulo, hingga tahap pemugaran. "Seluruh jenazah sudah dipindahkan, sehingga yang tersisa hanya batu nisan," kata dia.
Pusat pekuburan yang dulunya bernama Kerkhof Laan itu terletak Jalan Tanah Abang No 1, Jakarta Pusat. Hanya berjarak sekitar seratus meter dari Kali Krukut, yang menjadi jalur pengiriman jenazah oleh penduduk Kota Batavia di masa itu. "Kalau yang meninggal bangsawan besar, mayat cuma diantar sampai Harmoni," kata dia. "Setelah itu dijemput dengan iring-iringan kereta jenazah."
Lokasi pemakaman ini mulai berubah fungsi menjadi museum sekitar 1977, atas prakarsa Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin. Persiapannya sendiri berlangsung selama dua tahun sebelumnya. Mulai dari pemberitahuan pada pihak keluarga, pemindahan makam ke Menteng Pulo, hingga tahap pemugaran. "Seluruh jenazah sudah dipindahkan, sehingga yang tersisa hanya batu nisan," kata dia.
Meski tak ada lagi jasad manusia bersemayam, suasana angker masih terasa kala Plasadana memasuki lokasi wisata yang dulu bernama Kebon Jahe Kober itu. Deretan pepohonan menjulang tinggi, ditambah barisan patung berwajah datar semakin menambah kesan menyeramkan. Beruntung lokasi wisata ini berada di sekitar kantor pemerintahan Kota Jakarta Pusat yang ramai. Sehingga bisa meredam sedikit rasa takut. "Sejauh ini belum ada kejadian aneh," kata dia.
Sesuai namanya, Museum Taman Prasasti mengoleksi berbagai jenis patung, monumen, lempeng batu persegi, replika, dan penanda pusara. Pun dengan gaya yang berbeda-beda. Seperti neogotik, klasik, hingga Hindu-Jawa. Sebagian besar berasal dari abad ke-18 hingga ke-20. "Dulu ini menjadi pemakaman orang elite Hindia Belanda," kata dia.
Nisan Dr. H. F. Roll, seorang pendiri sekolah kedokteran (Stovia) Batavia. (Plasadana/Heru Budhiarto)
Beberapa nisan memang terlihat mewah. Ada yang berbentuk persegi dengan tinggi sekitar 1,5 meter. Pun terdapat pusara yang menggunakan konstruksi setengah bangunan dengan atap tertutup. Batu nisan yang digunakan rupanya tak sembarangan. Sebagian besar merupakan produk impor asal Italia. "Kalau sekarang mungkin seperti San Diego Hills di Karawang," kata dia.
Saat berkeliling, Plasadana.com menemukan beberapa nisan tokoh penting pada zamannya. Seperti Dr HF Roll, pendiri Sekolah Dokter Hindia alias School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA); Olivia Marianne Raffles, istri Thomas Stamford Raffles; JL Andries Brandes, filolog penemu manuskrip Kakawin Nagarakretagama; Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa era 60-an; Pieter Elberverd, pemberontak yang mendapat hukuman pecah kulit. "Sebagian memang dulunya dikubur di sini, tapi sisanya hanya replika," kata dia.
Nisan Dr. H. F. Roll, seorang pendiri sekolah kedokteran (Stovia) Batavia. (Plasadana/Heru Budhiarto)
Beberapa nisan memang terlihat mewah. Ada yang berbentuk persegi dengan tinggi sekitar 1,5 meter. Pun terdapat pusara yang menggunakan konstruksi setengah bangunan dengan atap tertutup. Batu nisan yang digunakan rupanya tak sembarangan. Sebagian besar merupakan produk impor asal Italia. "Kalau sekarang mungkin seperti San Diego Hills di Karawang," kata dia.
Saat berkeliling, Plasadana.com menemukan beberapa nisan tokoh penting pada zamannya. Seperti Dr HF Roll, pendiri Sekolah Dokter Hindia alias School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA); Olivia Marianne Raffles, istri Thomas Stamford Raffles; JL Andries Brandes, filolog penemu manuskrip Kakawin Nagarakretagama; Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa era 60-an; Pieter Elberverd, pemberontak yang mendapat hukuman pecah kulit. "Sebagian memang dulunya dikubur di sini, tapi sisanya hanya replika," kata dia.
Karena bernuansa yang unik, tempat ini kerap menjadi buruan sejumlah fotografer untuk mengabadikan gambar. Pun beberapa musisi telah memanfaatkan latar Museum Taman Prasasti untuk menciptakan suasana menarik dalam pembuatan video klip. Seperti grup musik Ungu kala merilis lagu Demi Waktu. "Kalau dapat sudut yang pas, nanti bisa terlihat seperti sedang berada di Eropa," kata dia berpromosi.
Keseruan berkeliling di Museum Taman Prasasti bisa Anda nikmati dengan membayar retribusi sebesar Rp 5.000 bagi dewasa, Rp 3.000 untuk mahasiswa, dan Rp 2.000 khusus anak-anak. Sementara ongkos jasa pemandu wisata sekitar Rp 35.000 per orang. Museum ini buka setiap Selasa hingga Ahad, sejak pukul 09.00 hingga 15.00.
Satu hal yang perlu Anda perhatikan jika ingin berkunjung, yaitu lokasi parkir. Area yang terbatas membuat pengguna kendaraan pribadi akan sedikit kesulitan kala berkunjung ke tempat itu. Solusinya, Anda bisa memanfaatkan lahan parkir Kantor Walikota Jakarta Pusat atau Gedung KONI Jakarta yang berada tepat di sebelah Museum Taman Prasasti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar