Senin, 08 September 2014

Menyelami Makna Kehidupan Lewat Hobi Jelajah

Menjelajah pelbagai kota dan daerah ternyata dapat memberikan banyak manfaat bagi penyukanya. Selain bisa mengenal dan menikmati suasana lingkungan baru, hobi ini juga mampu menghasilkan cara pandang yang berbeda tentang kehidupan. Seperti pentingnya kesabaran, disiplin, optimisme, sikap saling tolong-menolong, dan kemauan menghormati perbedaan.
Olenka Priyadarsani, travel blogger Yahoo Indonesia berkisah, sejak pertama kali traveling pada 2005, selalu menemukan hal baru untuk dipelajari. Kala berkunjung ke India, Olen menyadari betapa penting memandang hidup dengan lebih optimis dan penuh rasa syukur. Sebab masyarakat Tanah Hindustan itu harus berjuang untuk mendapatkan hidup layak dan lepas dari belenggu kemiskinan.
"Ketika berada di Jepang, saya melihat orang-orang lokal di sana sangat sopan dan disiplin," kata dia kepada Plasadana.com untuk Yahoo Indonesia, Senin, 8 September 2014. "Saya berusaha mencontoh kedisiplinan tersebut sedapat mungkin."
Kesadaran itu memang tak muncul tiba-tiba, tapi melalui proses panjang dan terus menerus. Menariknya, hal-hal sederhana yang dulu tak begitu ia sadari, justru menjadi pelajaran penting tatkala melakukan aktivitas bertualang. Seperti budaya antre, tepat waktu, dan pola pengaturan keuangan.
Apalagi sejak menikah, penulis buku Backpacking: Keliling Malaysia itu kerap melakukan travelingbersama keluarga. Aktivitas berkeliling tempat wisata pun membuat hubungan rumah tangga Olen menjadi lebih harmonis.
"Traveling itu pasti ada tantangannya. Jadi ketika menghadapi masalah kami belajar bagaimana cara mengatasi bersama," kata dia. "Kini kami lebih kompak dalam bekerja sama dan berbagi tugas."
Mengenai lokasi, ada banyak tempat yang dapat menjadi tujuan menarik. Pun pengunjung bisa mendapatkan banyak inspirasi dari sana. Jika menyukai naik gunung, Rinjani patut menjadi pertimbangan. Sementara bagi yang suka menyelam, ada Pulau Weh, Raja Ampat, atau Wakatobi. Dan bila ingin menjajal serunya berwisata ke luar negeri, kawasan Asia Tenggara bisa jadi pilihan. Seperti Thailand, Kamboja, Vietnam, serta Laos.
"Perjalanan tidak selalu jauh dan mahal atau ikut-ikutan yang lagi naik daun, yang penting hati selalu senang," kata wanita yang dalam waktu dekat hendak mengunjungi Makau, Hongkong.
Senada dengan Olen, Sigit Adinugroho mengatakan, lewat kegiatan menjelajah dirinya mendapatkan perspektif baru dalam menjalani hidup. Ketika berhadapan dengan lingkungan dan karakter manusia yang beragam, ia semakin menyadari bahwa tidak ada satu cara yang paling benar dan baik di dunia ini.
"Hanya ada cara yang cocok untuk budaya itu, pada masa itu, atau pada konteks kehidupan dan lingkungan yang ada pada saat itu," kata travel blogger Yahoo Indonesia itu. "Selama itu tidak merugikan sesama, berhenti memaksakan kehendak, dan hormati cara pandang orang lain."
Sebab menurutnya, masing-masing kebudayaan mempunyai sejarah dan masalah sendiri. Sehingga mereka memiliki solusi yang bisa jadi berbeda pula kala menghadapi persoalan. "Saya terus belajar untuk tidak memaksakan kehendak pada orang lain dan menghormati keputusan orang lain," kata pria yang pertama kali mengunjungi Hanoi, Vietnam, pada Januari 2009.
Melalui sikap saling merhargai, Sigit mampu menemukan indahnya rasa kemanusiaan yang paling dalam. Yakni kemauan untuk saling tolong-menolong. "Saat ketinggalan pesawat atau tersesat, selalu ada orang baik yang mau membantu," kata dia. "Orang baik itu tidak memandang perbedaan agama, golongan, maupun ras."
Pada akhirnya, hobi bertualang membuat Sigit menjadi pribadi yang lebih baik. Belajar mengandalkan diri sendiri, manajemen waktu, pengelolaan uang, menghargai orang lain, menghargai lingkungan tempat berkunjung, belajar hal-hal baik untuk dibawa pulang, dan diterapkan di Indonesia selagi mungkin. "Ketika berada di perjalanan, biasanya baru saya sadari kalau saya ini bukan apa-apa," kata dia.
Pengalaman mengesankan juga dirasakan Marischka Prudence, jurnalis televisi yang hijrah ke duniatraveling.  Saat berkunjung ke Afghanistan, Marischka melihat kegetiran yang membuatnya lebih bijak menjalani hidup. Kala itu ia menyaksikan ribuan rumah kumuh yang terbuat dari pasir dan hanya berukuran 4x7 meter. Bahkan seluruh orang tua melarang anak perempuan ke luar rumah. Sungguh situasi berbeda ketimbang di Indonesia.
“Saya bayangkan seumur hidup anak-anak itu tidak pernah melihat orang lain, tidak pernah tahu apa itu pohon, danau, atau mobil,” kata dia. “Jadi benar-benar tersentak sebagai manusia.”
Situasi itu membuat Marischka menjadi jauh lebih bersyukur dan mampu menikmati apapun yang dimiliki saat ini. “Dengan traveling, saya jadi melihat orang-orang dengan kondisi beragam,” kata dia. “Intinya mata lebih terbuka dan semakin toleran.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar